Perjalanan panjang KH. Masruhan Choteb, atau yang akrab disapa Khadimul Ma’had, adalah kisah tentang dedikasi tanpa lelah dalam menyebarkan ilmu, memperkuat akidah, dan membina generasi lintas batas. Sejak akhir 1990-an, jejak perjuangannya menembus batas-batas geografis, menjalin simpul ukhuwah di tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Malaysia: Awal Jejak Ilmiah dan Spiritualitas
Tahun 1998, beliau memutuskan untuk menetap di Kuala Lumpur, Malaysia. Di sanalah ia bergabung dengan Perkumpulan Silat Kalam Malaysia (PIKUM) bersama para pendekar spiritual seperti Cikgu Zahalan Man, Cikgu Mohd Ali, dan Cikgu Norman Zahalan di Taman Permata.
Pada Agustus 1998, ia menikah dengan Neng Nur Faizah, dan setahun kemudian, setelah menuntut ilmu selama 5 bulan di Mekkah, anak pertama mereka, Aini Mayaza el Banna, lahir. Waktu itu, beliau sempat bermukim selama 13 bulan di Kedungmaling, sembari fokus menulis karya ilmiah serta mengajar tahfiz dan Bahasa Arab di Pondok Darul Hikmah.
Tahun 2000, KH. Masruhan kembali ke Malaysia untuk melanjutkan studi ke jenjang S3 di Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Selama masa studi, ia tinggal di kediaman Cikgu Salma di Taman Melati, Gombak Setia. Di rumah inilah ia juga mulai merintis Majelis Al-Qur’an. Menariknya, putra Cikgu Salma, Dr. Ayman al Akiti, kemudian dipercayakan untuk dididik langsung oleh KH. Masruhan di Indonesia, sebelum melanjutkan studi ke Maroko dan kini menjadi dosen di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIA).
Singapura: Dakwah yang Menyentuh Lintas Generasi
Pada tahun 2002, beliau kembali meluaskan cakrawala dakwah ke Singapura, berkunjung ke sahabat lamanya Abang Fairuz Abdullah, yang saat itu aktif di Darul Arqam, lembaga pembinaan mualaf. Dari sinilah beliau mulai mengenal para tokoh penting, seperti Bro. Anis Maricar—Manager Darul Arqam dan sahabat dekat hingga kini—dan Mohammed Nassir, pengurus Masjid Abdul Aleem Siddique, Teluk Kurau.
Ramadhan 2002, KH. Masruhan diundang menjadi imam tarawih 30 juz di masjid tersebut. Karena kecocokan dan keakraban yang terjalin, pada awal tahun 2004, takmir Masjid Abdul Aleem Siddique datang langsung ke Pondok Darul Hikmah Kedungmaling untuk memohon kesediaan beliau menjadi Imam Eksekutif secara resmi. Permintaan itu diterima, dan beliau pun menetap di masjid tersebut hingga tahun 2008.
Di tahun yang sama, bersama Bro. Mohammed Nassir, beliau mendirikan Al-Siddiq Centre for Islamic Studies, yang dikenal luas sebagai SimplyIslam Singapura—sebuah lembaga kajian Islam modern yang dikenal progresif dan terbuka, tempat ribuan jiwa belajar dan menemukan Islam secara mendalam.
Dedikasi Luar Biasa: Dakwah di Penjara dan Komunitas Marginal
Kiprah KH. Masruhan di Singapura tidak berhenti di masjid. Beliau tercatat menjadi:
-
Part-time Imam dan pengajar Hadis di Masjid Sultan (2006–2020)
-
Guru Agama dan Konselor di Penjara Changi (2008–2016)
-
Pengajar dan Konselor di Darul Arqam Singapura (2006–2017)
-
Guru Tafsir dan Hadis di berbagai masjid di seluruh Singapura sejak 2004 hingga 2020
Selama lebih dari 15 tahun, beliau menjadi bagian penting dari transformasi spiritual masyarakat Singapura, termasuk di ruang-ruang yang jarang tersentuh, seperti penjara dan pusat rehabilitasi mualaf.
Warisan yang Hidup
Dakwah dan pengajaran yang dilakoni KH. Masruhan bukan sekadar rutinitas, tapi dedikasi jiwa. Ia menjelma sebagai sahabat, guru, dan pembimbing rohani bagi banyak tokoh dan keluarga, seperti Encik Zainul Abidin bin Mohamed Rasheed, Abang Anis, dan para mualaf yang kini menjadi penerus perjuangan Islam di Asia Tenggara.
Karya-karya beliau juga dikenang dan terus disebarluaskan lewat Al-Hidayah Publishers di Malaysia, di mana beliau pernah menjabat sebagai Ketua Editor dan Penyeleksi Naskah sejak 1997 hingga 2013, dengan nama pena Abu Mazaya Al Hafidz.